H-bibi Risya
sang pemimpi
PERANGKAT PEMBELAJARAN
Kamis, 30 Agustus 2018
Senin, 18 Februari 2013
Kisah Uwais al-Qarni.. TAK TERKENAL DI BUMI, TERKENAL DI LANGIT
Kisah Uwais al-Qarni.. TAK TERKENAL DI BUMI, TERKENAL DI LANGIT
Pada
zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya
merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya
kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat
sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al
Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu
untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang
menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat
terkenal di langit. Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada
hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk
surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi
syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at
sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak
ada yang ketinggalan karenanya.Dia adalah “Uwais al-Qarni”.
Ia
tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka
menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk,
tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan
lainnya.Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya,
memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik,
karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya
seraya berkata :“Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari
mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari
mencuri”.Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak
famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya
penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya
sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang
diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama
Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya
yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya.Kesibukannya
sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak
mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang
hari dan bermunajat di malam harinya.
Uwais
al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan
Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah
Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam
mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan
yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah
seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama
ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran.Banyak tetangganya
yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran
Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka
memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam. Alangkah
sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari
Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah
penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum.Kecintaannya kepada
Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang
kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke
Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi,
tak ada yang merawatnya.
Di
ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan
giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini
akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu
hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada
beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya.Hari berganti dan musim
berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu
tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam
hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau
dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan
perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah
siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa.Akhirnya, pada suatu
hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin
kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah.
Sang
ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan
anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata:“Pergilah wahai
anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah
engkau kembali pulang”.Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat
dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta
berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.
Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju
Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman.
Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir,
bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan
begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya
dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda
Nabi SAW yang selama ini dirindukannya.
Tibalah
Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW,
diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah
sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais
menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak
berada di rumah melainkan berada di medan perang.Betapa kecewa hati
sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak
berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu
kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ?
Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan
sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas
pulang”.Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah
mengalahkan suara hati dan kemahuannya untuk menunggu dan berjumpa
dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada
sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya
menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan
haru.
Sepulangnya
dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang
mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah
anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal
di langit). Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina
‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina
‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang
kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia
tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.Rosulullah SAW bersabda :
“Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah,
ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.”Sesudah
itu beliau SAW, memandang kepada sayyidina Ali k.w. dan sayyidina Umar
r.a. dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia,
mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan
penghuni bumi”.
Tahun
terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga
kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan
Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi
SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera
mengingatkan kepada sayyidina Ali k.w. untuk mencarinya bersama.Sejak
itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu
menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka.
Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya
yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan
kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan
mereka.Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah
menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari
Yaman, segera khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. mendatangi
mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu
mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta
mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas
pergi menemui Uwais al-Qorni.Sesampainya di kemah tempat Uwais berada,
Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya
Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais
menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman.
Sewaktu
berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk
membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais,
sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar ! Dia
penghuni langit.Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah
nama saudara ?“Abdullah”, jawab Uwais.Mendengar jawaban itu, kedua
sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba
Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?”Uwais kemudian berkata:
“Nama saya Uwais al-Qorni”.Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa
ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut
bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan
Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais
enggan dan dia berkata kepada khalifah:“Sayalah yang harus meminta do’a
kepada kalian”.Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata:“Kami datang
ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”.Karena desakan kedua
sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a
dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk
menyumbangkan wang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan
hidupnya.Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba
mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari
selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.
Setelah
kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya.Tapi
ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh Uwais , waktu itu
kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para
pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang.
Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk
ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat.Pada saat itu, kami
melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal
yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari
kapal dan melakukan sholat di atas air. Betapa terkejutnya kami melihat
kejadian itu.“Wahai waliyullah,” Tolonglah kami !” tetapi lelaki itu
tidak menoleh.Lalu kami berseru lagi,” Demi Zat yang telah memberimu
kekuatan beribadah, tolonglah kami!”Lelaki itu menoleh kepada kami dan
berkata: “Apa yang terjadi ?”“Tidakkah engkau melihat bahwa kapal
dihembus angin dan dihantam ombak ?”tanya kami.“Dekatkanlah diri kalian
pada Allah ! ”katanya.“Kami telah melakukannya.”“Keluarlah kalian dari
kapal dengan membaca bismillahirrohmaanirrohiim!”Kami pun keluar dari
kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami
lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam,
sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut. Lalu orang
itu berkata pada kami ,”Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan
kalian semua selamat”.“Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ?
”Tanya kami.“Uwais al-Qorni”. Jawabnya dengan singkat.Kemudian kami
berkata lagi kepadanya, ”Sesungguhnya harta yang ada di kapal tersebut
adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang
Mesir.” “Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan
membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?”
tanyanya.“Ya,”jawab kami.Orang itu pun melaksanakan sholat dua rakaat di
atas air, lalu berdo’a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap salam,
tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan
meneruskan perjalanan.
Setibanya
di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir
di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.Beberapa waktu kemudian,
tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya,
pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang
berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan
untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk
mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali
kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya
hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa
banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.Dan Syeikh Abdullah
bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga
aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk
kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan
tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin
Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni
pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.)Meninggalnya Uwais al-Qorni
telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang
amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal
berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais
adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang.
Sabtu, 30 Juni 2012
KETIKA IJAZAH MENJADI BERHALA
Ketika ijazah menjadi berhala. Zaman berubah
tiada terasa. Baca tulis melahirkan peradaban. Di atas lembaran sejarah simbol-simbol
tercipta. Kebudayaan dan kemanusiaan menyempit
meruncing kepada satu ‘dunia’ kecil, selembar kertas berharga. Ijazah mengubah peta perjalanan manusia.
Ketika
ijazah menjadi berhala. Pengakuan dan penghormatan manusia di atas
segalanya. Ijazah menjadi nilai tukar kehidupan yang sah. Ijazah menjadi
dewa yang dipuja-puja, berhala yang disembah-sembah, tuan yang
diagung-agungkan.
Ijazah menjadi Tuhan. Manusia menjadi hamba. Mengejar mimpi dan obsesi,
pemenuhan hasrat dan ambisi, lebih dahsyat dari pesona materi.
Ketika
ijazah menjadi berhala, selembar kertas
dianggap keramat. Agung dan mulia. Apapun akan dikorbankan sebagai
ritual penyembahan, bukti ketaatan, kepatuhan dan ketundukan. Simbiosis
mutualis antara hamba dengan tuan. Konsekuensi logis, tuan butuh hamba,
hamba butuh tuan.
Berapapun harganya
akan dibayar. Apapun caranya akan dilakukan. Selama apapun penantian, enam tahun, sembilan, dua belas
bahkan sampai duapuluh tahun perjalanan. Untuk sebuah pengakuan, pengagungan
sesembahan, selembar berhala ijazah.
Dari
SD, SMP, SMA sampai pasca sarjana, ijazah
dikejar dan diincar. Berhala ijazah, menawarkan berjuta pesona. Lembaga
pendidikan
kehilangan 'ruh' keramat. Pendangkalan nilai suci ilmu-pengetahuan.
Pengikisan kearifan dan kebijaksanaan. Kepintaran, kepandaian dan
kecerdasan hanya berputar di dalam otak kepala, namun hati
lengang dan sepi, rongga dada kosong hampa.
Ketika
ijazah menjadi berhala. Santri dan siswa hanya simbolik belaka.
Mengejar
gelar-gelar formal, namun meninggalkan altar- altar spiritual. Menangkap
pangkat-pangkat imitasi namun melepaskan kemuliaan hakiki. Menggapai
ketinggian harga diri namun membuang keluhuran budi pekerti. Mengukir
kemahiran diplomasi namun mengikir ketajaman mata hati dan nurani.
Berhala ijazah menggeser mutiara-mutiara hikmah dan menggusur
khazanah-khazanah berkah.
Ketika
ijazah menjadi berhala, gedung sekolah hanya
persinggahan sementara. Cerobong asap menyemburkan wajah-wajah suram
generasi masa depan, bukan kawah
candradimuka, bejana alam penempa para calon ksatria. Pelatihan mencuri
karya cipta,
mencontek, menjiplak dan membajak tanpa paham makna. Transaksi ilegal
bocoran ujian nasional, jual beli karya tulis dan skripsi, markas besar
tawuran massal, pembelajaran perilaku culas dan brutal.
Ketika ijazah menjadi berhala, pengetahuan
tak lagi berharga, uang menjadi aktor utama. Ijazah palsu bermunculan. Para penipu
kehormatan. Pengkhianatan kepercayaan. Penyelewengan praktek perijinan. Legalitas formal merusak hak-hak dan keadilan sosial.
Sesungguhnya para penyembah ijazah selalu dalam
kebingungan. Hitam putih tak lagi bisa membedakan. Salah kaprah, yang benar
jadi tidak lumrah, dianggap sebagai musuh dan dituduh salah. Yang
salah jadi berhala baru yang disembah-sembah. Tersesat dalam pencarian,
kehilangan arah. Tuhan tak akan memberi petunjuk kepada mereka yang
menyekutukan dalam penghambaan. Kebenaran dan kelurusan jalan hanya
diperuntukkan bagi mereka yang teguh menjaga kemurnian penyembahan.
Setumpuk ijazah di almari, sederet trofi,
sebaris medali, sertifikat dan surat-surat ‘sakti’. Hidup dalam kepalsuan. Halusinasi,
mimpi, semua serba imitasi. Dunia surut menciut, hanya sebatas kertas dengan
ornamen gambar dan beberapa baris tulisan formal, selembar kertas, berhala ijazah.
"
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan
Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas
penglihatannya ? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah
Allah (membiarkannya sesat) ? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran ? "
(QS Al Jatsiyah : 23)... ***
El Jeffry
PESAN UNTUK SAHABAT
PESAN UNTUK SAHABAT
Ketika aku berpesan tentang suatu ilmu-pengetahuan,
jangan engkau menyangka bahwa aku bermaksud memberi pengajaran, aku hanya
tengah mengajari diriku sendiri dan tengah berupaya melakukannya
(mempraktekkan-mengamalkan), hanya saja aku bemaksud berbagi kepadamu, lagi
pula engkau tak pernah tahu keseharianku sebelum kita menyempatkan diri untuk
bertemu.
Bisa jadi aku gagal dalam pemahaman dan pengamalan, dan engkau yang berhasil memperoleh keduanya lebih baik dariku, sebab kemampuan orang tidaklah sama. Aku hanya berharap engkau lebih baik dariku, dan setidaknya aku telah memperoleh kebaikan hasil dari berbagi. Bisa jadi aku hanya mendapatkan satu, sedang engkau mendapatkan seratus atau seribu, akupun mendapat kebaikan pula dengan berbagi.
Atau bisa jadi pula aku telah sadar apa yang kusampaikan memang di luar kemampuanku untuk mencapainya, sedang aku tahu sebagian dari engkau pasti ada kemampuan itu, akupun mendapat kebaikan dari pencapaianmu. Sebab jika kupendam hanya karena kehati-hatian berlebihan, maka selamanya tidak ada yang mendapat pencapaian, tidak aku atau engkau, dan itu adalah kesia-siaan, pastinya aku tak mendapatkan satupun kebaikan.
Namun bila yang aku sampaikan dan tengah berusaha kulakukan semampuku hanya engkau anggap angin lalu, sebab engkau tak pernah mengenalku, maka itu sudah di luar tanggung jawabku, aku tetap mendapat kebaikan dari niat dan itikad baik, tak lebih dari itu. Jika kuanggap pesanku adalah niaga (bisnis), maka yang kulakukan adalah ‘laba utama’, sedang engkau kuharap sebagai ‘bonus’nya. Mungkinkah aku hanya mengejar ‘bonus’ dengan mengabaikan ‘laba utama’?
Alangkah baiknya jika yang engkau lihat apa yang disampaikan (ma qaala), bukan siapa yang menyampaikan (man qaala). Shakespeare berkata : “Apa arti sebuah nama?” Memang itu berarti, hanya bila engkau mengenal orangnya. Orang arif berkata : “ Jika engkau hendak mengenal orang, kenalilah tulisannya. Dan jika engkau hendak mengenal tulisan, kenalilah orangnya.”
Tulisan adalah cermin dari pengetahuan dan isi seseorang, ia akan jujur mengungkapkan kepribadian. Jika engkau lihat inkonsistensi (tidak istiqomah) dari tulisannya, maka begitulah dengan orangnya. Demikian pula sebaliknya. Satu hari dia bercerita tentang ketegaran, di hari lain berkeluh kesah tentang kerapuhan. Di satu saat dia berwasiat dengan kekhusyu’an, di saat lain dia mengumbar kata-kata maksiat dan kemungkaran. Hampir pasti bisa dikatakan itulah inkonsistensi. Kata-kata dan pesan hanya kreasi (karya cipta-rekayasa), bukan ekspresi (ungkap rasa-apa adanya).
Seorang ahli ilmu juga pernah berkata : “Jika untuk berpesan (taushiah-nasehat) menunggu segalanya sempurna, maka tidak akan pernah ada sekolah, pengajaran dan penyebaran ilmu-pengetahuan. Jika yang engkau dapati suatu kebaikan, anggapalah itu pengajaran untuk berbuat baik. Dan jika yang engkau dapati suatu keburukan, maka anggaplah itu sebagai pengajaran pula untuk engkau hindarkan.”
Sebagaimana bila akhirnya aku berpesan : “Maukah engkau kuberi tahu 1001 cara untuk ‘mencapai’ kegagalan?” Bila memungkinkan dan engkau berkenan akan kuuraikan satu persatu, dan engaku akan paham maksud pesan itu, apakah aku hendak mengajarimu untuk untuk ‘berhasil’ mencapai kegagalan, atau justru untuk berhasil meraih keberhasilan...***
El Jeffry
Langganan:
Postingan (Atom)