Sabtu, 30 Juni 2012

KETIKA IJAZAH MENJADI BERHALA






Ketika ijazah menjadi berhala. Zaman berubah tiada terasa. Baca tulis melahirkan peradaban. Di atas lembaran sejarah simbol-simbol tercipta. Kebudayaan dan kemanusiaan menyempit meruncing kepada satu ‘dunia’ kecil, selembar kertas berharga. Ijazah mengubah peta perjalanan manusia.
Ketika ijazah menjadi berhala. Pengakuan dan penghormatan manusia di atas segalanya. Ijazah menjadi nilai tukar kehidupan yang sah. Ijazah menjadi dewa yang dipuja-puja, berhala yang disembah-sembah, tuan yang diagung-agungkan. Ijazah menjadi Tuhan. Manusia menjadi hamba. Mengejar mimpi dan obsesi, pemenuhan hasrat dan ambisi, lebih dahsyat dari pesona materi.
Ketika ijazah menjadi berhala, selembar kertas dianggap keramat. Agung dan mulia. Apapun akan dikorbankan sebagai ritual penyembahan, bukti ketaatan, kepatuhan dan ketundukan. Simbiosis mutualis antara hamba dengan tuan. Konsekuensi logis, tuan butuh hamba, hamba butuh tuan. 

Berapapun harganya akan dibayar. Apapun caranya akan dilakukan. Selama apapun penantian, enam tahun, sembilan, dua belas bahkan sampai duapuluh tahun perjalanan. Untuk sebuah pengakuan, pengagungan sesembahan, selembar berhala ijazah.
Dari SD, SMP, SMA sampai pasca sarjana, ijazah dikejar dan diincar. Berhala ijazah, menawarkan berjuta pesona. Lembaga pendidikan kehilangan 'ruh' keramat. Pendangkalan nilai suci ilmu-pengetahuan. Pengikisan kearifan dan kebijaksanaan. Kepintaran, kepandaian dan kecerdasan hanya berputar di dalam otak kepala, namun hati lengang dan sepi, rongga dada kosong hampa.
Ketika ijazah menjadi berhala. Santri dan siswa hanya simbolik belaka. Mengejar gelar-gelar formal, namun meninggalkan altar- altar spiritual. Menangkap pangkat-pangkat imitasi namun melepaskan kemuliaan hakiki. Menggapai ketinggian harga diri namun membuang keluhuran budi pekerti. Mengukir kemahiran diplomasi namun mengikir ketajaman mata hati dan nurani. Berhala ijazah menggeser mutiara-mutiara hikmah dan menggusur khazanah-khazanah berkah.
Ketika ijazah menjadi berhala, gedung sekolah hanya persinggahan sementara. Cerobong asap menyemburkan wajah-wajah suram generasi masa depan, bukan kawah candradimuka, bejana alam penempa para calon ksatria. Pelatihan mencuri karya cipta, mencontek, menjiplak dan membajak tanpa paham makna. Transaksi ilegal bocoran ujian nasional, jual beli karya tulis dan skripsi, markas besar tawuran massal, pembelajaran perilaku culas dan brutal.
Ketika ijazah menjadi berhala, pengetahuan tak lagi berharga, uang menjadi aktor utama. Ijazah palsu bermunculan. Para penipu kehormatan. Pengkhianatan kepercayaan. Penyelewengan praktek perijinan. Legalitas formal merusak hak-hak dan keadilan sosial.
Sesungguhnya para penyembah ijazah selalu dalam kebingungan. Hitam putih tak lagi bisa membedakan. Salah kaprah, yang benar jadi tidak lumrah, dianggap sebagai musuh dan dituduh salah. Yang salah jadi berhala baru yang disembah-sembah. Tersesat dalam pencarian, kehilangan arah. Tuhan tak akan memberi petunjuk kepada mereka yang menyekutukan dalam penghambaan. Kebenaran dan kelurusan jalan hanya diperuntukkan bagi mereka yang teguh menjaga kemurnian penyembahan.

Setumpuk ijazah di almari, sederet trofi, sebaris medali, sertifikat dan surat-surat ‘sakti’. Hidup dalam kepalsuan. Halusinasi, mimpi, semua serba imitasi. Dunia surut menciut, hanya sebatas kertas dengan ornamen gambar dan beberapa baris tulisan formal, selembar kertas, berhala ijazah.

" Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya ? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat) ? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran ? " (QS Al Jatsiyah : 23)... ***
El Jeffry

PESAN UNTUK SAHABAT

PESAN UNTUK SAHABAT


Ketika aku berpesan tentang suatu ilmu-pengetahuan, jangan engkau menyangka bahwa aku bermaksud memberi pengajaran, aku hanya tengah mengajari diriku sendiri dan tengah berupaya melakukannya (mempraktekkan-mengamalkan), hanya saja aku bemaksud berbagi kepadamu, lagi pula engkau tak pernah tahu keseharianku sebelum kita menyempatkan diri untuk bertemu. 

Bisa jadi aku gagal dalam pemahaman dan pengamalan, dan engkau yang berhasil memperoleh keduanya lebih baik dariku, sebab kemampuan orang tidaklah sama. Aku hanya berharap engkau lebih baik dariku, dan setidaknya aku telah memperoleh kebaikan hasil dari  berbagi. Bisa jadi aku hanya mendapatkan satu, sedang engkau mendapatkan seratus atau seribu, akupun mendapat kebaikan pula dengan berbagi.

Atau bisa jadi pula aku telah sadar apa yang kusampaikan memang di luar kemampuanku untuk mencapainya, sedang aku tahu sebagian dari engkau pasti ada kemampuan itu, akupun mendapat kebaikan dari pencapaianmu. Sebab jika kupendam hanya karena kehati-hatian berlebihan, maka selamanya tidak ada yang mendapat pencapaian, tidak aku atau engkau, dan itu adalah kesia-siaan, pastinya aku tak mendapatkan satupun kebaikan.

Namun bila yang aku sampaikan dan tengah berusaha kulakukan semampuku hanya engkau anggap angin lalu, sebab engkau tak pernah mengenalku, maka itu sudah di luar tanggung jawabku, aku tetap mendapat kebaikan dari niat dan itikad baik, tak lebih dari itu. Jika kuanggap pesanku adalah niaga (bisnis), maka yang kulakukan adalah ‘laba utama’, sedang engkau kuharap sebagai ‘bonus’nya. Mungkinkah aku hanya mengejar ‘bonus’ dengan mengabaikan ‘laba utama’?

Alangkah baiknya jika yang engkau lihat apa yang disampaikan (ma qaala), bukan siapa yang menyampaikan (man qaala). Shakespeare berkata : “Apa arti sebuah nama?” Memang itu berarti, hanya bila engkau mengenal orangnya. Orang arif berkata : “ Jika engkau hendak mengenal orang, kenalilah tulisannya. Dan jika engkau hendak mengenal tulisan, kenalilah orangnya.”

Tulisan adalah cermin dari pengetahuan dan isi seseorang, ia akan jujur mengungkapkan kepribadian. Jika engkau lihat inkonsistensi (tidak istiqomah) dari tulisannya, maka begitulah dengan orangnya. Demikian pula sebaliknya. Satu hari dia bercerita tentang ketegaran, di hari lain berkeluh kesah tentang kerapuhan. Di satu saat dia berwasiat dengan kekhusyu’an, di saat lain dia mengumbar kata-kata maksiat dan kemungkaran. Hampir pasti bisa dikatakan itulah inkonsistensi. Kata-kata dan pesan hanya kreasi (karya cipta-rekayasa), bukan ekspresi (ungkap rasa-apa adanya).

Seorang ahli ilmu juga pernah berkata : “Jika untuk berpesan (taushiah-nasehat) menunggu segalanya sempurna, maka tidak akan pernah ada sekolah, pengajaran dan penyebaran ilmu-pengetahuan. Jika yang engkau dapati suatu kebaikan, anggapalah itu pengajaran untuk berbuat baik. Dan jika yang engkau dapati suatu keburukan, maka anggaplah itu sebagai pengajaran pula untuk engkau hindarkan.”

Sebagaimana bila akhirnya aku berpesan : “Maukah engkau kuberi tahu 1001 cara untuk ‘mencapai’ kegagalan?” Bila memungkinkan dan engkau berkenan akan kuuraikan satu persatu, dan engaku akan paham maksud pesan itu, apakah aku hendak mengajarimu untuk untuk ‘berhasil’ mencapai kegagalan, atau justru untuk berhasil meraih keberhasilan...***

El Jeffry